Kamis, 12 Juni 2014

Napak tilas

Purwokerto.

Begitu mendengar satu kata nama salah satu kota di pulau Jawa itu, ingatan saya langsung melayang ke sawah-sawah hijau dengan kali-kali kecil, gunung Slamet, tempe mendoan dan nasi uduk.

Nasi uduk? Ya.

Mungkin bagi sebagian orang, kota yang lebih sering dikenal sebagai kota Wisata, kota Kripik, kota Transit, kota Pendidikan sampai kota Pensiunan ini hanya sebagai kota untuk pulang kampung, melanjutkan kuliah mereka yang mahasiswa atau hanya sebagai tempat istirahat bagi para pensiunan. Namun bagi saya - dan keluarga saya - kota ini mempunyai sejarahnya sendiri.

2009 adalah tahun yang sangat berarti bagi kami. Pada tahun itu, kami yang selama ini tinggal di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta memutuskan untuk mengubah nasib dan pindah ke kota Purwokerto. Kota yang sama sekali asing bagi kami. Tidak ada sanak saudara di sana. Kami benar-benar asing. Dengan berbekal nekat, kami tinggalkan segala yang ada di Jakarta menuju Purwokerto. Sekali lagi demi mengubah nasib.
Bapa saat itu memutuskan untuk pensiun dini, kakak saya masih kuliah semester akhir di Uiversitas Soedirman, saya baru saja lulus sekolah menengah atas, adik saya masih terlalu kecil. Di sana, kami berencana untuk membuka wirausaha. Maka saat itu dibukalah Rumah Makan Nasi Uduk. Ya, awalnya semua berjalan sangat memuaskan, bahkan diluar ekspetasi kami. Namun seperti pepatah bilang, manusia hanya bisa berencana, Tuhan juga yang menentukan.

Usaha kami bahkan tidak sampai bertahan satu tahun. Kami nyaris kehabisan tabungan - atau bisa dikatakan, kami tidak ada lagi simpanan uang - untuk memnuhi kebutuhan hidup, lalu biaya kuliah kakak saya yang masih semester terakhir, untuk belanja bahan pangan untuk di jual, kami hampir tidak mempunyai apapun. Tidak ada pemasukan, yang ada hanya pengeluaran. Tapi kami tetap kompak, kami tetap bersama.
Di sana, adik saya yang masih berusia empat tahun, membantu kami untuk mencuci piring, dia selalu senang memcuci piring saat itu, apa lagi jika ada satu atau dua orang yang datang ke rumah makan kami. Dia selalu bersemangat untuk mencuci piring. Bapa, di Jakarta, saya jarang melihat dia ke pasar, kalau pun ke pasar, mungkin hanya karena mengantar ibu dan menunggu ibu. Tapi di kota itu, bapa yang bolak-balik belanja ke pasar, berdesakan dengan ibu-ibu dan para penjual. Saya dan kakak saya (jika dia sedang tidak kuliah) adalah yang menjadi pramusaji untuk para pembeli - jika ada.Dan ibu, adalah koki paling hebat di keluarga kami.

Di kota itu, saya merasakan kekuatan tawa, kekuatan cinta, dan kekuatan doa yang membuat kami tetap bertahan. Saling menghibur satu sama lain. Sampai akhirnya doa kami terjawab, Tuhan memberikan saya jalan untuk membantu keluarga saya. Saya diterima bekerja, di Jakarta. Ya, saya lebih dulu kembali ke Jakarta. Kota dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Kami terpisah. Ya, hanya selang beberapa bulan, keluarga saya akhirnya menyusul 'pulang' ke Jakarta.
Singkat cerita, di kota itu kami pernah terpuruk.

Satu bulan yang lalu, saya dan keluarga saya bertolak ke Purwokerto (lagi), menjejakkan kaki kami pada jalan-jalan yang dulu pernah kami lewati, dengan ingatan tentang kenangan yang masih sangat terpeta jelas dalam benak kami.
Kami tidak pernah membenci kota itu. Purwekerto bagi kami adalah kota yang indah. Kami banyak belajar di sana. Ketegaran. Kesabaran. Serta kesedihan.
Saya memang tidak terlalu lama di sana, tapi banyak hal yang membuat saya merindukan kota itu. Satu hari sebelum saya kembali ke Jakarta, bapa membawa saya ke Bobosan. Sawah hijau membentang luas di depan mata saya, dengan kali-kali kecil yang mengalir di pinggir-pinggir, merasakan dinginnya aliran kali kecil itu pada kulit kaki saya. Dan saat kami ke sana, saya merengek untuk mampir ke Bobosan. Ah, setelah lima tahun, tidak terlalu banyak perubahan pada bentangan sawah itu. Saya suka.
Saya merindukan pemandangan gunung Slamet dari jalan samping tempat tinggal saya saat itu, sayang, pemandangan gunung Slamet tidak terlihat karena tertutup kabut atau asap atau entah apa.
Saya rindu Pae, penjual bakso gerobak cokelat yang selalu mangkal setiap menjelang senja di depan toko matrial yang sudah tutup. Penjual bakso langganan kami yang sudah sangat akrab dengan keluarga saya. Sayang, saat kami mencoba untuk menemui Pae di tempat biasa dulu, beliau sudah tidak lagi berjualan di sana.

Kami kembali melewati bangunan kecil yang dulu menjadi Rumah Makan Nasi Uduk kami, kini bangunan itu menjual barang-barang mainan anak-anak. Tempat tinggal kami masih sama, hanya tidak terlalu banyak tumbuhan di teras kecilnya dan agak sedikit berantakan.
Ah, sayang, kami hanya satu hari di sana. Rasanya satu hari tidak cukup untuk mengenang 'kami yang dulu tinggal di sana'. Tidak semua tempat kami bisa datangi.
Dan dari semua, yang paling saya rindukan adalah Paduka. Paduka adalah sebutan keluarga kami untuk lelaki paruh baya - orang lain - yang sudah seperti saudara kami. Om Narno. Beliau dan keluarganya sudah seperti bagian dari hidup kami sejak saat itu hingga kini dan nanti. Paduka yang selama itu membantu kami, lelaki paruh baya yang serba bisa. Benar-benar serba bisa.

Kedatangan kami kesana serba mendadak. Saya yang baru libur kuliah setelah UAS, langsung mengajukan cuti begitu satu malam sebelumnya kami iseng-iseng ngobrol tentang kenangan kami di Purwokerto.


At Alun-alun

Dinner

At Alun-alun

At Bobosan. Dari kiri: Aufar, Ibu, Mba Ica

At Bobosan (Dari kiri: saya, ibu, mba ica)

At Bobosan

At Bobosan

Kali kecil di samping sawah Bobosan (dari kiri: kaki ibu, kaki saya, kaki Aufar)

At Bobosan. (Di belakang kami itu kendaraan yang membawa kami)

At Bobosan

Saya dan ibu
At Pantura (dari kiri: bapa, bang Iwan, saya)
Jika Tuhan memberikan lagi kami waktu dan kesempatan, kami ingin kembali lagi ke kota itu. Untuk kembali mengenang dan napak tilas yang tidak akan pernah kami bosan.



~K~

Senin, 05 Mei 2014

Happy Birthday, Bapa.

Selamat Ulang Tahun, Bapa.

Ya, hari ini bapa saya ulang tahun, yang ke 50 tahun!! Beliau sudah menjejaki usianya yang ke 50 dan tidak sedikit pun saya lupa bagaimana saya sangat mencintainya. Beliau selalu jenaka namun bijak, selalu menjadi tempat yang asik untuk sharing. Beliau selalu memberikan jalan keluar dan jawaban yang terkadang tidak bisa saya dapatkan.

Saya masih ingat, kurang lebih 15 atau 14 tahun yang lalu, saat saya masih duduk di sekolah dasar, saat musim sedang penghujan, bapa mengantar saya ke sekolah dengan sepeda motor. Sekolah saya saat itu selalu banjir hingga masuk ke dalam kelas setiap musim penghujan. Bapa tidak mengijinkan saya turun dari motor dan berjalan sendiri ke dalam kelas, beliau malah menggendong saya, mengendong saya yang sudah cukup besar untuk ukuran anak SD seusianya. Menggendong saya dari tempat parkir motor sampai ke dalam kelas dan mendudukkan saya ditempat duduk saya.
"Kakinya jangan turun-turun, nanti gatal." pesan beliau sebelum beliau keluar dari kelas.
Ooh, tidak sedikit teman-teman saya yang mengejek saya, mentertawai saya, memperhatikan saya. Dan saat itu, saat dimana biasanya anak-anak seusia itu menangis saat diejek atau ditertawai, saya malah tertawa. Iya, saya tertawa dengan bangga. Saya bangga mempunyai bapa seperti bapa saya. Saya bangga, karena sekian puluh murid-murid di sekolah itu, tidak ada satu pun - selain saya - yang digendong orang tuanya agar anaknya tidak berbanjiran.
Beliau sering menggendong saya jika saya ketiduran di depan tivi, dan hal itu masih terus belanjut, bukan kepada saya, melainkan kepada adik kecil saya. Tidak, beliau tidak pernah membeda-bedakan kasih sayangnya kepada ketiga puterinya.
Saya menyesal, karena saya tidak bisa menjadi anak yang terbaik. Belum bisa memberikan prestasi yang membanggakan. Namun, beliau selalu membanggakan saya. :')
Semoga hari ini dan hari-hari selanjutnya, Bapa selalu sehat, selalu keren, selalu menjadi superhero di dalam keluarga, selalu menjadi bapa saya.
Saya sangat mencintai bapa dan ibu saya. Tidak perduli apa yang terjadi, tidak perduli bagaimana pandangan orang. Bapa dan ibu adalah dua orang yang hebat yang saya miliki.
Dan saya bangga menjadi anak mereka.
Love you Dad, until the rest of my whole life.

Minggu, 27 April 2014

Miss Us.

Kemarin, ya, kemarin tanggal 27 April 2014, Minggu. Saya dengan tiga teman kuliah saya yang lain memutuskan untuk belajar bersama, dengan topik 'menjelang UAS' yang hanya tinggal menghitung hari yang kurang dari sepuluh jumlah kedua jari tangan. 

Lagi-lagi kembali pada kodrat kami sebagai 'cewek' sekali membahas tentang 'cowok' seluruh hari yang SEHARUSNYA kami isi dengan membahas materi gagal total. Ya, persennya hanya 20% membahas materi, dan 80% kami CURHAT. *sigh*

Dan yang membuat saya tertawa adalah, saya yang menjadi pelopor sesi curhat-curhatan tersebut. *sigh*
Jadi, kesimpulannya perjalanan saya dari Depok ke Jakarta Timur kemarin diisi dengan curhat. Saya merasa rugi? Sedikit. Ya, hanya sedikit. Karena setelahnya ada sesuatu yang seperti terangkat dari pundak oh, bukan pundak, tapi perasaan dan hati saya yang selama ini menyesakkan.

Saya pun tidak menyangka sebelumnya, bahwa pada hari itu rasa yang selama ini tidak ada yang tahu - mungkin ada yang tahu, tapi yang tahu itu tahunya saya sudah tidak memiliki rasa apapun - akhirnya luber juga siang kamarin. Dasar cewek!

Tahu apa yang akhirnya saya keluarkan dari hati melalui mulut saya ini? Yaitu, D (saya tidak akan menyebut namanya di sini), semua cerita tentang D dan saya sewaktu masih sekolah. Kenangan-kenangan kami, cerita saat saya menangis untuk pertama kalinya (saya tidak pernah cerita sebelumnya dengan siapa pun) saat D bercerita bagaimana dia melepas kekasihnya waktu itu. Saya menangis saat itu, bukan karena ikut sedih D melepas kekasihnya, tapi karena rasa sayang D kepada kekasihnya sama besarnya seperti rasa sayang saya kepada D. 

Dan setelahnya, saya baru menyadari, ini sudah sembilan tahun lebih. Ya, sembilan - tahun! Rasanya waktu bergulir sangan cepat. Sepertinya baru kemarin saya merasakan jatuh cinta pada D, dan menangis karena D, dan pura-pura tersenyum mendengar D bercerita tentang dirinya dan kekasihnya. Ini sudah sembilan tahun, dan rasa ini tidak pernah hilang, tidak pernah berkurang, tidak pernah luntur.

"Kenapa lo bisa cinta sama dia?" tanya salah seorang teman saya itu siang kemarin.

Jawaban saya, "Gua nggak tau."

Ya, setelah sembilan tahun rasa ini terpendam, setelah sekian tahun saya mencintainya dalam diam. setelah sembilan tahun saya selalu mengenang setiap kebersamaan kami, pada akhirnya saya tetap tidak pernah tahu apa alasan saya jatuh cinta berkali-kali kepadanya. But, love doesn't need any reason, isn't it?

Jadi, mereka yang selama ini hanya tahu saya yang sebagai cewek tough, tomboy, galak, cuek, pada akhirnya mengetahui sisi 'rapuh' saya, yang selama ini saya simpan baik-baik.

Dan karenanya, sejak pulang kemarin, saya jadi merindukan D, merindukan tawa kami, merindukan candaan kami, merinduka ledekan dia, merindukan sentuhan tangannya, merindukan senyumnya.

Tidak mau galau sebenarnya hari ini. Tapi, sulit sekali rasanya untuk tidak kembali memikirkannya.

Ah, semoga dia tidak tersedak saat makan, karena sejak kemarin saya terus membicarakannya dan memikirkannya.

Jadi, setomboy-tomboynya saya, segalak-galaknya saya, secuek-cueknya saya. Saya tetap perempuan yang memiliki sisi rapuh. Hanya tidak terlihat saja, atau saya yang tidak mengijinkan semua orang melihat kerapuhan saya.

Bahwa saya rapuh, rapuh kepadanya.

Miss you. Miss us.

~K~

Minggu, 23 Februari 2014

My Little Cute Nephew.

Name : Arzan Bimo Artanabil.
Born : November 11st, 2013
Current Age : 3 months 3 days

~K~

Rabu, 19 Februari 2014

Morning Silent.

Saya suka ketenangan di pagi hari, saat matahari baru saja menyebarkan sinarnya di atas permukaan bumi, saat burung-burung pagi masih menyanyikan lagu-lagu indah sambil berterbangan atau hinggap pada salah satu dahan pohon di depan rumah, saat udara masih menyisakan dingin, saat embun masih menempel pada dedaunan.

Ya, saya suka ketenangan di pagi hari. Untuk membuat saya kembali merenungi diri tentang apa yang sudah saya lakukan kemarin, tentang apa yang belum saya lakukan kemarin, tentang kesempatan apa yang telah saya lewatkan kemarin, tentang apa yang belum saya lengkapi kemarin.

Saya suka ketenangan di pagi hari. Ketenengan memberikan saya sejenak waktu saat pikiran masih kosong untuk, bersyukur atas nafas yang masih diberikan oleh-Nya, untuk sejenak berfikir tentang rencana apa yang akan saya susun untuk melengkapi yang belum lengkap, untuk melakukan apa yang belum sempat dilakukan, untuk tidak lagi melewati kesempatan, untuk memperbaiki apa yang belum menjadi baik.

Sampai pada titik mulai kembali terdengar suara ibu yang memanggil saya dari dapur, agar saya segera bergegas untuk kembali memulai aktivitas dengan senyum mengembang, semangat yang menggebu, dan hati yang tulus.


~Kiky~

Kamis, 13 Februari 2014

Hei Guys. I missed you.

Tiba-tiba saya merindukan mereka.

Dahulu saya pernah merasa begitu kesal dan tidak senang dengan keputusan dari Ibu yang mendaftarkan saya di sebuah Sekolah Menengah Pertama yang menjadi salah satu sekolah unggulan negeri di bilangan Jakarta Utara.

Tahun 2003 silam, saya menjejaki masa-masa pertama saya menjadi remaja. Hanya dua orang yang saya kenal dari sekian ratus murid-murid baru saat itu. Dan dua orang itu tidak terlalu dekat dengan saya. Mereka satu sekolah dasar dengan saya, tapi bisa dikatakan kami tidak terlalu akrab.

Saya merasa sendirian, berdiri di antara ratusan anak yang benar-benar asing. Di lingkungan yang juga begitu asing. Saya menginginkan bersama teman-teman yang sudah enam tahun bersama saya saat saya masih di Sekolah Dasar. Tapi (katakanlah lagi: takdir) membawa saya di sekolah itu.

Perjalanan saya tidak semudah yang dibayangkan oleh Ibu atau pun keluarga saya yang lain yang mendukung pilihan ibu saya. Saya merasa kecil. Saya merasa di sana bukanlah tempat saya. Saya seperti rumput liar yang merusak keindahan gugusan bunga-bunga yang merekah sempurna.

Satu tahun saya bertahan. Mempertahankan diri. Mencari dan menyukai segala sesuatu untuk tetap membuat saya bertahan.

Saya bukan seseorang berotak encer apa lagi jenius. Diterima di sebuah sekolah unggulan standar nasional untuk saya bisa dibilang sebuah keajaiban.

Sampai akhirnya Tuhan mendengar doa saya dan mempertemukan saya dengan mereka. Dan untuk pertama kalinya saya merasa, saya berada ditempat dimana saya seharusnya berada. Saya merasakan keajaiban yang sesungguhnya.

Teman. Sahabat. Keluarga.

Ya, saya menemukannya.

Kegilaan bersama mereka adalah satu-satunya hal yang paling saya syukuri. Haha. Dan mereka yang telah membuat saya menjadi gila. Dan saya mensyukurinya. :)

Hal-hal yang mungkin tidak masuk akal, menjadi masuk akal bersama mereka. Saya benar-benar bersyukur karena Tuhan mengeratkan tali-tali yang menghubungkan kami satu sama lain sekali pun kami terpisah oleh jarak setelah lepas dari seragam putih-biru.

Pada masa putih-abu-abu, saya kembali bertemu dengan beberapa dari teman-teman 'gila' saya. Dan hal itu membuat saya yakin, bahwa ini semua adalah rencana Tuhan, selalu mempersatukan beberapa dari kami dengan beberapa dari kami agar kami tetap bersama dalam sebuah ikatan dan kenangan.

Putih-abu-abu, selain menyatukan saya dengan beberapa orang gila itu, saya dipertemukan dengan orang gila lainnya. Ha! Ternyata hidup saya dikelilingi oleh 'orang-orang gila' yang membuat saya 'gila' dan menikmati hidup yang tidak mudah. Menghargai setiap detik yang saya lewati. Tawa bersama mereka yang mengajarkan saya bahwa segala sesuatu yang begitu berat menjadi tidak berarti apa-apa jika tertawa. Ya, maka saya tertawa. Maka kini banyak yang bilang saya gila.

Namun seiring berotasinya waktu, berubahnya jaman, dan jarak yang semakin panjang diantara kami membuat saya tidak bisa sesering dulu menggila bersama mereka.

Saya yang kini semakin dibebani oleh tanggung jawab akan masa depan, juga mereka, semakin terkukung. Dan waktu yang telah meninggalkan masa kini hanya menyisakan kenangan. Ah, beruntungnya mereka yang masih berdekatan dan tidak dipisahkan jarak.

Sementara saya, jarak kini menjadi musuh yang tidak pernah ingin berdamai, kecuali jika saya nekat melepas sejenak tanggung jawab.

Ya, saya sangat merindukan mereka. Tawa besama mereka. Melupakan beban masa depan untuk sejenak bersama mereka. Berbicara hal-hal yang tidak pernah masuk akal untuk orang lain, namun sangat masuk akal bagi saya dan juga mereka. Tertawa bahkan untuk hal yang terlalu datar untuk ditertawakan oleh orang awam.










Kini, kenangan berserakan di belakang waktu yang telah bergulir. Saya kembali merindukan semua itu saat saya untuk beberapa saat meluangkan waktu dari padatnya beban untuk memunguti semua memori itu.

Jika saja Tuhan tidak membuat Ibu memberikan keputusan untuk saya bersekolah di sana, mungkin saat ini saya tidak mempunyai kenangan yang membuat saya tersenyum bahkan tertawa (sendiri).

Terima Kasih Tuhan. Terima kasih Ibu.

Saya merindukan mereka.


~K~


Selasa, 07 Januari 2014

Rainy Day



Treading the eighth day of early 2014.
It's my birth, and it's rainy.
My new age, my new me, my new life.
I don't wanna be still the old me, I just wanna be new me but still me.
I want to feel the drizzle and feel the rain, not just get wet.

Hei, it's my born date, and it's raining.

Rabu, 01 Januari 2014

Happy New Year 2014

Langit malam itu tidak bertabur bintang, mengingat hujan yang terus menguyur sepanjang hari. New Year's eve dengan langit mendung. Tapi nyatanya hal itu tidak menahan kami untuk tetap begembira menyambut tahun baru. Mengingat pergantian tahun lalu, tidak seperti tahun ini, tahun lalu begitu suram - atau semacamnya lah, saya sama sekali tidak menikmati pergantian tahun baru 2013 silam. Saya memilih untuk tidur sambil menangis. Seingat saya, kala itu masalah demi masalah tidak bosannya menyapa saya. Tapi saya bersyukur, satu tahun sudah saya lewati dengan susah payah. Bertahan dengan pendirian yang tersisa pada hidup saya. 

Satu hal yang membuat saya jengkel, satu jam menuju pergantian tahun, 'dia' kembali menghubungi saya, entah dia dapatkan nomer saya dari mana, saya tidak perduli. Pertanyaan saya hanya satu: "Untuk apa dia kembali menganggu hidup saya?" SHIT! Saya tidak mau kesal, saat itu, saya tidak mau mencemari suka cita saya menyambut tahun baru dan suka cita saya kembali membuka lembaran hidup saya yang benar-benar baru di tahun yang baru dengan rasa kesal dan jengkel.

Hanya satu tekad saya untuk tahun ini dan tahun-tahun seterusnya, saya akan membuka lembaran hidup saya yang baru TANPA DIA di dalamnya dalam bentuk apapun.

Entah harus dengan cara apa lagi agar dia mengerti bahwa saya sama sekali tidak menginginkan hidup saya diganggu lagi olehnya dengan cara apapun! 

Anyway, I don't care anymore. I'm not living in the past anymore.

Selain hal di atas tadi, tidak ada lagi yang menjengkelkan. Saya benar-benar menikmati pergantian tahun ini dengan suka cita. Berkumpul bersama keluarga, makan malam di luar, menikmati ayam bakar bersama para tentangga, dan kembang api yang pecah di langit hitam, memberikan warna-warna cerah setelah seharian langit mengguyurkan hujannya. Ini perayaan sederhana, tapi begitu melekat, begitu hangat, begitu akrab. Tidak perlu ikut bermacet-macetan untuk kesuatu tempat hanya untuk melihat kembang api.
Di sini, saya puas melihat kembang api bersama keluarga dan kerabat dengan kehangatan yang menyatukan kami.

Hei, this is New Year, New Age, New World, New Me.

Don't expect you can find the old me. Naif, fragile, and too easy to trust in bullshit-melancholic-drama words.  

The new me are stronger and harder.

Hope whatever we choose for our life is something that makes us better than before.

Happy New Year everyone!!


~K~