Purwokerto.
Begitu mendengar satu kata nama salah satu kota di pulau Jawa itu, ingatan saya langsung melayang ke sawah-sawah hijau dengan kali-kali kecil, gunung Slamet, tempe mendoan dan nasi uduk.
Nasi uduk? Ya.
Mungkin bagi sebagian orang, kota yang lebih sering dikenal sebagai kota Wisata, kota Kripik, kota Transit, kota Pendidikan sampai kota Pensiunan ini hanya sebagai kota untuk pulang kampung, melanjutkan kuliah mereka yang mahasiswa atau hanya sebagai tempat istirahat bagi para pensiunan. Namun bagi saya - dan keluarga saya - kota ini mempunyai sejarahnya sendiri.
2009 adalah tahun yang sangat berarti bagi kami. Pada tahun itu, kami yang selama ini tinggal di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta memutuskan untuk mengubah nasib dan pindah ke kota Purwokerto. Kota yang sama sekali asing bagi kami. Tidak ada sanak saudara di sana. Kami benar-benar asing. Dengan berbekal nekat, kami tinggalkan segala yang ada di Jakarta menuju Purwokerto. Sekali lagi demi mengubah nasib.
Bapa saat itu memutuskan untuk pensiun dini, kakak saya masih kuliah semester akhir di Uiversitas Soedirman, saya baru saja lulus sekolah menengah atas, adik saya masih terlalu kecil. Di sana, kami berencana untuk membuka wirausaha. Maka saat itu dibukalah Rumah Makan Nasi Uduk. Ya, awalnya semua berjalan sangat memuaskan, bahkan diluar ekspetasi kami. Namun seperti pepatah bilang, manusia hanya bisa berencana, Tuhan juga yang menentukan.
Usaha kami bahkan tidak sampai bertahan satu tahun. Kami nyaris kehabisan tabungan - atau bisa dikatakan, kami tidak ada lagi simpanan uang - untuk memnuhi kebutuhan hidup, lalu biaya kuliah kakak saya yang masih semester terakhir, untuk belanja bahan pangan untuk di jual, kami hampir tidak mempunyai apapun. Tidak ada pemasukan, yang ada hanya pengeluaran. Tapi kami tetap kompak, kami tetap bersama.
Di sana, adik saya yang masih berusia empat tahun, membantu kami untuk mencuci piring, dia selalu senang memcuci piring saat itu, apa lagi jika ada satu atau dua orang yang datang ke rumah makan kami. Dia selalu bersemangat untuk mencuci piring. Bapa, di Jakarta, saya jarang melihat dia ke pasar, kalau pun ke pasar, mungkin hanya karena mengantar ibu dan menunggu ibu. Tapi di kota itu, bapa yang bolak-balik belanja ke pasar, berdesakan dengan ibu-ibu dan para penjual. Saya dan kakak saya (jika dia sedang tidak kuliah) adalah yang menjadi pramusaji untuk para pembeli - jika ada.Dan ibu, adalah koki paling hebat di keluarga kami.
Di kota itu, saya merasakan kekuatan tawa, kekuatan cinta, dan kekuatan doa yang membuat kami tetap bertahan. Saling menghibur satu sama lain. Sampai akhirnya doa kami terjawab, Tuhan memberikan saya jalan untuk membantu keluarga saya. Saya diterima bekerja, di Jakarta. Ya, saya lebih dulu kembali ke Jakarta. Kota dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Kami terpisah. Ya, hanya selang beberapa bulan, keluarga saya akhirnya menyusul 'pulang' ke Jakarta.
Singkat cerita, di kota itu kami pernah terpuruk.
Satu bulan yang lalu, saya dan keluarga saya bertolak ke Purwokerto (lagi), menjejakkan kaki kami pada jalan-jalan yang dulu pernah kami lewati, dengan ingatan tentang kenangan yang masih sangat terpeta jelas dalam benak kami.
Kami tidak pernah membenci kota itu. Purwekerto bagi kami adalah kota yang indah. Kami banyak belajar di sana. Ketegaran. Kesabaran. Serta kesedihan.
Saya memang tidak terlalu lama di sana, tapi banyak hal yang membuat saya merindukan kota itu. Satu hari sebelum saya kembali ke Jakarta, bapa membawa saya ke Bobosan. Sawah hijau membentang luas di depan mata saya, dengan kali-kali kecil yang mengalir di pinggir-pinggir, merasakan dinginnya aliran kali kecil itu pada kulit kaki saya. Dan saat kami ke sana, saya merengek untuk mampir ke Bobosan. Ah, setelah lima tahun, tidak terlalu banyak perubahan pada bentangan sawah itu. Saya suka.
Saya merindukan pemandangan gunung Slamet dari jalan samping tempat tinggal saya saat itu, sayang, pemandangan gunung Slamet tidak terlihat karena tertutup kabut atau asap atau entah apa.
Saya rindu Pae, penjual bakso gerobak cokelat yang selalu mangkal setiap menjelang senja di depan toko matrial yang sudah tutup. Penjual bakso langganan kami yang sudah sangat akrab dengan keluarga saya. Sayang, saat kami mencoba untuk menemui Pae di tempat biasa dulu, beliau sudah tidak lagi berjualan di sana.
Kami kembali melewati bangunan kecil yang dulu menjadi Rumah Makan Nasi Uduk kami, kini bangunan itu menjual barang-barang mainan anak-anak. Tempat tinggal kami masih sama, hanya tidak terlalu banyak tumbuhan di teras kecilnya dan agak sedikit berantakan.
Ah, sayang, kami hanya satu hari di sana. Rasanya satu hari tidak cukup untuk mengenang 'kami yang dulu tinggal di sana'. Tidak semua tempat kami bisa datangi.
Dan dari semua, yang paling saya rindukan adalah Paduka. Paduka adalah sebutan keluarga kami untuk lelaki paruh baya - orang lain - yang sudah seperti saudara kami. Om Narno. Beliau dan keluarganya sudah seperti bagian dari hidup kami sejak saat itu hingga kini dan nanti. Paduka yang selama itu membantu kami, lelaki paruh baya yang serba bisa. Benar-benar serba bisa.
Kedatangan kami kesana serba mendadak. Saya yang baru libur kuliah setelah UAS, langsung mengajukan cuti begitu satu malam sebelumnya kami iseng-iseng ngobrol tentang kenangan kami di Purwokerto.
![]() |
| At Alun-alun |
![]() |
| Dinner |
![]() |
| At Alun-alun |
![]() |
| At Bobosan. Dari kiri: Aufar, Ibu, Mba Ica |
![]() |
| At Bobosan (Dari kiri: saya, ibu, mba ica) |
![]() |
| At Bobosan |
![]() |
| At Bobosan |
![]() |
| Kali kecil di samping sawah Bobosan (dari kiri: kaki ibu, kaki saya, kaki Aufar) |
![]() |
| At Bobosan. (Di belakang kami itu kendaraan yang membawa kami) |
![]() |
| At Bobosan |
![]() | |
| Saya dan ibu |
![]() | |
| At Pantura (dari kiri: bapa, bang Iwan, saya) |
Jika Tuhan memberikan lagi kami waktu dan kesempatan, kami ingin kembali
lagi ke kota itu. Untuk kembali mengenang dan napak tilas yang tidak akan pernah kami bosan.
~K~











