Kamis, 30 Mei 2013

Junior High School


Jadi dulu tuh, duluuuu banget - dulu waktu gue masih ganteng-gantengnya, dulu waktu gue masih berambut cepak, dulu waktu gue masih dikira anak cowok, dulu waktu gue lebih seneng dipanggil ganteng, dulu waktu gue bener-bener baru lahir jadi abege labil - gue suka (untuk pertama kalinya) sama kakak kelas gue. Hahahaha. Masih sering senyum-senyum sendiri sampe sekarang kalo keingetan tentang bagaimana begonya gue gara-gara suka setengah mati sama kakak kelas yang paling kece itu. 

Gue lupa gimana awalnya gue bisa sampe suka sama dia. Waktu gue kelas satu, dia kelas tiga, dan kelas gue bersebrangan dengan kelas dia. Dulu kelas satu jam sekolahnya masih dibagi dua, kelas pagi dan kelas siang. Setiap kali gue masuk siang, gue berdua temen gue pasti selalu aja curi-curi waktu untuk jalan lewat kelas dia, cuma untuk ngelirik doi. Hahahaha, bego banget ya! Begitu bel bunyi, gue nggak langsung masuk kelas, gue selalu nunggu di depan teras untuk ngeliat dia keluar dari dalam kelasnya. Kadang gue nunggu sendirian, tapi lebih sering berdua ama temen gue yang sama-sama suka sama kakak kelas itu. Hahaha, fans bersama gitu.

Gue masih inget, setiap hari Senin dan Rabu jadwalnya dia ekskul futsal, biasanya kalo dia lagi ekskul gue selalu salah tingkah sendiri di dalam kelas *pengen keluar kelas buat liatin dia* . Dan begitu jam istirahat bunyi, gue langsung buru-buru keluar. Hahahaha.

Ada hal yang paling nekat dan paling gila yang pernah gue lakuin dulu, ya-i-tu : gue nulis surat untuk dia. Hahahaha *jedotin kepala ke meja*, seriusan, itu hal yang paling nekat yang pernah gue lakukan. Dan yang paling memalukannya...hmmm- gini, gue dengan bakat mata-mata gue, akhirnya bisa dapet nomer teleponnya. Jangan ditanya apa gue akhirnya telepon dia atau nggak, ya iya lah gue telepon, tapi cuma diem aja begitu dia yang ngomong. Beberapa kali gue selalu 'meneror'nya dengan telepon-telepon misterius gue. Hehehe...*maaf ya Kakaaaak*, sampai akhirnya setelah gue nekat menulis surat cinta ke dia yang gue taro di laci mejanya, gue telepon dia lagi dan akhirnya gue bersuara. Sayangnya gue lupa seperti apa percakapan awalnya, yang gue inget, gue tanya surat gue udah di baca apa belom, dan dia balas dengan, "Surat apaan?"
Gubraaaakk!!
"Ehm, emang nggak ada di laci meja Kakak? Saya taro surat di laci meja Kakak." *gilaak, polos dan bloon banget kata-kata gue.*
"Oh, tadi pagi pelajaran tata busana, jadi meja-meja dipindah-pindah."
Gubraaaakk!!

Dan sekarang gue nggak tau gimana nasib keberadaan surat yang gue tulis dengan jantung yang nyaris copot, keringet dingin dan mules-mules itu. Tapi gue nggak patah hati, mungkin karena saat itu gue masih belia banget kali ya...jadi belom ngerti yang namanya patah hati. Cuma baru tau suka-sukaan doang.

Dan begitu dia lulus, gue lumayan kesepian juga, pasalanya nggak ada kakak kelas yang seganteng dan sekece dia. Hahahaha. 

Begitu kelas dua, gue punya temen sekelas namanya Dio, dan belakangan gue baru tau ternyata Dio tetanggaan sama dia, sama si Kakak kelas kece itu. Huuuaaahh....gue mikirnya saat itu adalah : Jodoh Nggak Akan Lari Kemana. *preeett.

Beberapa kali gue dan temen-temen gue yang lain main ke rumah Dio, gue selalu berharap ketemu sama sang pujaan hati *preeet. Dan dari sekian puluh kali gue main ke rumah temen gue itu. cuma sekali doang gue ngeliat dia. Ya, sekali!

Begitu naik kelas tiga, betapa senangnya saya sodara-sodara, ternyata gue menempati kelas yang dulu adalah kelasnya. Hahahaha (ketawa girang) dan gue juga sekelas dengan teman gue sesama fans kakak kelas itu, Radhita :))

Sekarang begitu gue kepoin facebook dengan niat, gue-akhirnya- menemukan akunnya. Well, dia sekarang sudah menjadi 'Bapak', sudah menikah dan sudah mempunyai anak yang unyu banget. Hehehe. I'm happy for him and his little family. *tapi rada nggak sreg sama foto-foto dia dan istrinya, kenapa gaya-gayanya alay gitu ya? ck. Dan dia menjadi polisi sekarang, entah polisi lalulintas atau polisi tidur *jitak. Hope he will be the wise police :))

Ah, sudahlah, dia ternyata bukan jodoh gue. #ngarepdotcom.

Kalau ingat-ingat lagi masa-masa masih cinta-cintaan monyet, bener-bener bikin ngakak sendiri. Ah...Junior High School, where it all began.

----------
Note : To Radhita
Remember that story? Hehehehe, that's about 'our' Kunglaw :))





Senin, 27 Mei 2013

Belum Ingin Mencari dan Belum Ingin Dicari.

here

Siang tadi seorang teman - seorang senior - menyapa saya yang baru saja menghabiskan semangkuk bakso gepeng sebagai santapan makan siang dikala tanggal tua seperti ini :D Saya tahu dia hanya berniat baik, sangat baik malah dan saya rasa itu adalah bentuk dari sebuah perhatian sesama rekan kerja. 

Saya masih mengelus perut saya yang masih kenyang sambil bersandar pada sandaran kursi di pantry.
Tiba-tiba saja senior saya datang dan berkata, "Ki, lagi cari cowok nggak?"
Saya mendengak dari layar hape Android yang baru saja saya tengok. "Cari cowok?" sambil mengangkat kedua alis mata saya yang berantakan.
"Iya. Ada tamunya Pak Andi tuh lagi berkunjung. Keturunan Arab, single, kaya, punya tampang."
Dan respons saya malah tergelak."Keturunan Arab, kaya trus ganteng, tapi kok single, Pak?"
"Iya yah, kenapa bisa begitu ya?"
"Wah patut dipertanyakan tuh, Pak." Lagi-lagi saya tergelak. "Kalo saya single, wajar, saya bukan siapa-siapa dan nggak punya apa-apa."
"Tapi kalo kamu sama dia, kamu beruntung banget, Ki."
"Iya lah saya beruntung, eh dianya yang buntung dapetin saya. Hehehe."
"Beneran lho, Ki."
Saya diam sejenak, kemudian bilang, "Saya masih senang dengan kesendirian saya, Pak."

Apa saya terkesan terlalu pilih-pilih? Mungkin ya, mungkin tidak.

***

Dua kali sudah saya merasakan bagaimana sakitnya terjembab dalam lubang. Bukan luka yang membuat saya sakit, tapi dampak dari jatuhnya yang membuat saya sakit. Dua kali saya menerima hati orang lain dengan hati saya yang naif dan masih polos, dan dua kali juga saya terluka. Luka yang kedua yang membuat luka saya membekas, mungkin sampai saya akhirnya sendiri di dalam liang lahat. Luka yang menciptakan trauma yang terus menerus menggelayuti saya meskipun saya sedang tertawa terpingkal-pingkal. Trauma yang terkadang membuat saya menarik diri dari dunia sekitar saya dan menciptakan dunia saya sendiri hanya untuk mengutuki betapa bodohnya saya di masa lalu. Kesalahan yang pernah saya lakukan karena menerima seseorang dengan sembarang bermodalkan hati yang masih naif, polos, gamang dan kepercayaan akhirnya menjadikan saya sembarangan dan terjerumus dalam lubang yang selama ini selalu saya hindari. Kesalahan yang membuat saya trauma dan takut luar biasa untuk kembali memulai suatu hubungan.

Jadi apakah saya bisa disebut sebagai pemilih? Mungkin. Pengalaman di masa lalu membuat saya belajar untuk lebih 'berhati-hati' menilai seseorang. Pengalaman di masa lalu saya mengajarkan saya untuk 'tidak lagi naif'. Pengalaman di masa lalu saya mengajarkan saya agar saya 'memilah dengan logika'.

Suatu hari nanti, di saat trauma yang membelenggu saya akhirnya bosan dan melepaskan saya, saya akan keluar dari dunia yang saya kunci. Saya akan mencari dia yang hanya dengan senyumnya bisa menenangkan saya. Dia yang hanya dengan genggaman hangatnya dapat meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia yang bisa melihat jauh di dalam mata saya dan mengetahui bahwa saya 'tidak baik-baik saja' di saat saya sedang tertawa untuk menutupinya. Dia yang tidak akan pernah membiarkan saya menangis apapun alasannya. Dia yang tidak pernah memaksakan kehendakknya untuk saya, sekalipun mungkin saya yang akan memaksakan kehendak saya padanya. Dia yang akan memeluk saya disaat saya marah. Dia yang selalu memberikan saya petunjuk setiap kali saya bingung dan bimbang. Dia yang selalu ada setiap kali saya senang atau pun sedih. Dia yang tidak akan pernah marah apa lagi memaki saya di saat dia marah atau sedang tidak mood. Dia yang tidak menilai saya dari masa lalu yang pernah saya jalani, melainkan menerima saya di masa sekarang dan di masa yang akan datang nantinya.

Ya, saya akan mencari 'dia'. Dia yang sama sekali belum saya ketahui seperti apa tatapan matanya, seperti apa suara tawanya, seperti apa bentuk rahangnya, seperti apa caranya berjalan. Dia yang masih absurd dalam bayang-bayang dan harapan saya. 

Yeah, setidaknya mempunyai sedikit harapan adalah cara untuk tetap bertahan hidup dengan normal.

Saya yakin, 'dia' berada diantara ribuan malaikat di luar sana yang juga sedang menanti saya untuk keluar dari dunia saya. Ya, suatu hari nanti. Bukan hari ini, bukan pula besok atau lusa atau hari setelah lusa. Suatu hari, entah kapan.

Sekarang, saya belum ingin mencari apa lagi dicari.




Rabu, 22 Mei 2013

Mencari.


Saya mencari, selalu mencari dimulai saya membuka mata saya disetiap pagi setelah semalaman saya bernari dalam dunia mimpi. Apa yang saya cari? Yang pasti, sesuatu yang tidak atau belum saya temukan. Saya mencari sejak saya mengenal dunia di luar kotak yang selalu saya sebut rumah. Sejak saya mulai mengenal mereka, kami, kita dan dia. 

Apa yang saya cari? Cinta? Ah, bukan. Cinta tidak lagi berada dalam garis pencarian dalam hidup saya. Saya sudah bertemu dengan beberapa cinta, yang singgah maupun hanya sekedar lewat. Mereka hanya berwarna pada disetiap bait pertama. Saya tidak lagi percaya dengan mereka yang mendeklarasikan diri mereka adalah pencinta, mengatasnamakan cinta atas segala dosa yang dilakukan. Sejujurnya, saya muak dengan cinta yang menganut kepercayaan 'Soulmate.' atau 'Cinta Pada Pandangan Pertama.' atau 'Cinta Yang Saling Melengkapi.' atau 'Cinta Yang Tidak Menuntut.'. Ah, buat saya, those are kind of bullshit. Cinta yang nyata untuk saya hanya saya dapatkan dari Tuhan dan kedua orang tua saya. Sudah jelas, saya bukan mencari cinta.

Lalu apa?

Saya mencari jati diri. Ya, jati diri.

Terkadang lucu, saya yang tidak lagi tergolong labil, ternyata masih saja mencari jati diri. Meskipun dosa yang saya lakoni sudah terlalu panjang atau kebaikan yang saya lakukan tidak melebihi dosa yang saya perbuat, saya masih belum menemukan jati diri saya.

Pemarah, kah? Pendiam, kah? Pendendam, kah? Pemurung, kah? Periang, kah? Penyendiri, kah? Penyayang, kah? Atau apa? Entahlah.

Saya coba mencarinya dari masa depan yang masih buram. Masa kini yang masih terus saya jalani. Dan masa lalu yang tidak akan pernah berubah. Saya masih belum bertemu dengannya.

Yang pasti, saya akan terus mencari 'diri' saya yang mungkin belum lelah bermain dengan angin dan belum puas melihat saya yang nyaris sekarat untuk bertemu dengannya.

Saya akan terus mencari.



Senin, 20 Mei 2013

First Fall

Hari ini iseng-iseng ngebuka-buka lagi foto-foto jaman sekolah dulu, waktu masih pake seragam putih-abu2. Masa-masa SMA yang penuh dengan tawa, canda, galau, kegilaan. Masa-masa di mana gue masih caprut, katro, stres hahaha *sekarang pun masih sama -___-

Masa-masa dimana gue ngerasain yang namanya jatuh cinta *ciyeee.... sama adek kelas gue *gubrak.Tapi suweer, itu adalah masa dimana gue bener-bener ngerasain jatuh cinta. Waktu SMP juga pernah ngerasain suka sama kakak kelas, dan saat itu jauh lebih gila lagi karena gue sampe nekat kirim surat segala, surat yang nggak pernah sampe ditangannya...hahahaha. Geblek banget gue emang. Tapi pada waktu SMP gue belum tuh ngerasain yang namanya galau. Mungkin karena padaa saat itu yang gue rasa cuma rasa suka dan kagum, bukan cinta kali ya...hahaha.

Tapi begitu SMA, gue ketemu sama dia, adik kelas gue yang pertama kali gue liat saat MOS. Dia paling beda dari anak-anak yang lainnya. Paling ramah, paling murah senyum dan ga sombong. Nggak kayak anak-anak yang lain yang ngerasa ganteng malah jadi belagu, dan kesannya malah jadi sok kegantengan di mata gue. Well, dia yang paling down to earth, menurut gue sih. Kalo diinget-inget, gambarannya kayak artis Lucky Perdana. Ya, kurang lebih seperti dia. Dan sialnya, setiap kali ngeliat Lucky Perdana di tivi, malah bikin gue ketawa-ketawa sendiri, lebih jelasnya mentertawakan kebegoan gue dulu yang bisa-bisanya cinta mati ama adek kelas! *kampreet banget emang.

Tapi, gue emang harus akui, itu adalah moment-moment gue yang paling berkesan buat gue, ditengah-tengah kegilaan dan kestresan otak gue saat itu, cuma dia yang bikin gue jadi kalem tiba-tiba padahal sebelumnya lagi ketawa-ketawa ngekek. Tapi begitu dia lewat, gue berubah menjelma menjadi sosok kakak kelas yang anggun. *asli kampreet banget.

Gue masih inget pertama kali gue kenalan sama dia. Saat itu pulang sekolah, siang-siang, gue maksa temen lelaki gue buat nemenin gue kenalan sama dia. Tadinya temen gue itu udah males, tapi atas nama persahabatan, akhirnya dia mau nemenin gue yang saat itu jantung gue berdegup kayak naik roller coaster 15 kali. Gue berdua ama temen gue jalan menyusuri koridor menuju kelas dia yang berada di lantai dasar yang di ujung dekat taman samping. 

Temen gue manggil dia yang masih di dalem kelas, sedangkan gue nunggu di bangku samping kelasnya dengan jantung yang rasanya bener-bener mau copot, sesak napas, panas dingin, meriang, untungnya nggak sampe pingsan karena temen gue akhirnya dateng diikuti dia di belakang badan temen gue yang tinggi menjulang.

Dan saat itu gue speechless, bener-bener nggak tau mau ngomong apa, padahal semalemnya gue udah nyiapin serentet kata-kata pembuka untuk kenalan sama dia, tapi semuanya blank begitu berhadapan sama dia, dan gue yakin muka gue saat itu bener-bener kayak orang tolol yang dipanggil guru untuk ngerjain soal aljabar di papan tulis.

Dan yep, akhirnya kami berkenalan singkat, dengan berdalih, temannya dia yang kenal dengan gue sering cerita banyak tentang dia, dan gue jadi penasaran tentang dia. Dan ya, dia percaya. Hahaha.

Perkenalan kami singkat, jelas dan padat, dia nggak bisa berlama-lama karena harus segera mengembalikan setumpuk buku ke perpustakaan karena dia adalah ketua kelas, entahlah, dia memang benar-benar mau ke perpustakaan atau itu cuma alasan saja untuk menghindari gue. Well, saat itu I really don't care. Karena hati gue yang sedang berbunga-bunga dan meletup-letup. Karena setelah perkenalan singkat itu, kami jadi sering bertegur sapa. Seperti yang gue bilang, dia ramah, murah senyum dan nggak sombong, itu yang ngebuat gue akhirnya menjatuhkan hati gue. Tapi ya, saat SMA juga merasakan yang namanya patah hati, nggak lama setelah perkenalan kami yang unyu itu, tepat saat acara tujuh belas Agustusan, gue tahu bahwa dia ternyata udah punya pacar.

Gue lemes, saat itu gue langsung terduduk di bawah mading dan meluk temen gue. Saat itu gue nggak sampe nangis, karena gue paling anti nangis di depan orang. Tapi begitu gue pulang, nyampe rumah, gue tutup pintu kamar gue, gue kunci sampe dua kali, dan saat itu pertama kalinya gue nangis karena cinta. Sial!

Temen gue yang paling jangkung itu pun membesarkan hati gue dengan caranya, dia bilang, "Tenang aja sih, Ki. Ntar juga mereka putus." katanya dengan enteng dan santainya. Saat itu respon gue cuma senyum masam, kecut dan pait.

Dan keajaiban pun datang, kata-kata dari temen gue itu pun menjadi kenyataan. Saat lagi acara class meeting (acara yang mempertemukan antara kakak kelas dengan adik kelas dalam sebuah pertandingan/sparing dari futsal, voli, basket dll), salah satu temen gue kasih kabar kalo dia dan pacarnya putus. Saat itu rasanya seperti menang lotre *well, gue sendiri nggak pernah main lotre. Gue langsung lari nyari temen gue yang jangkung itu, dan gue liat dia lagi duduk-duduk di bawah pohon yang rindang bersama teman-temannya yang lain, gue langsung hampiri dia yang mengguncangkan badannya sambil teriak, "Dia puutusss!"

Dan temen gue itu cuma bilang dengan muka cueknya, "Tuh kan, apa gue bilang."

Apa kalian pikir ini akan berakhir happy ending dengan gue dan dia akhirnya jadian dan finally happily ever after? No, no, no...justru sebaliknya.

Awal semester kedua, dia pindah sekolah, iya, pindah sekolah tanpa pemberitahuan. Pindah sekolah dan gue sama sekali nggak tau, pindah sekolah tanpa sempet gue ucapin salam perpisahan. Dan well, dari semua itu gue ambil pembelajarannya, hidup terkadang nggak sesuai dengan apa yang kita harapkan, yang bisa kita lakukan adalah menerimanya dengan hati yang lapang, karena percaya, Tuhan mempunyai rencana yang lebih baik. :')



"Buka Semangat Baru"

gambar dari sini
Ada satu lagu yang bersejarah banget buat gue. Satu lagu yang sealu mengingatkan gue tentang masa-masa 'indah' sewaktu gue dan keluarga gue merantau ke kota Purwekerto. Masa-masa dimana gue dan keluarga gue jatuh, tertiban dan terseok-seok. Masa dimana gue merasakan makan bakso lima ribu perak semangkok berlima :')

Masa dimana terkadang gue merasa hidup ini benar-benar berat, masa dimana gue akhirnya membuka mata bahwa untuk meraih sesuatu benar-benar berat. Masa dimana gue lebih sering ngeliat ibu diam dan melamun. Masa dimana kami menangis dalam senyum dan tawa. Masa dimana gue menyimpan semua cita-cita gue. Masa dimana yang dibutuhkan hanya perjuangan, pengorbanan dan doa.

Dan munculah lagu 'Buka Semangat Baru' yang dinyanyikan oleh Ello, Ipank, Barry dan Lala. Lagu yang setiap paginya selalu di putar di radio, lagu yang selalu gue nyanyiin setiap kali gue ngeliat ibu mulai melamun. Lagu yang selalu gue nyanyiin dengan berbagai versi gaya konyol, dari gaya asiknya Ello, gaya manisnya Lala, gaya rokernya Ipank sampe gaya nge-rap nya Barry dengan suara gue yang ngepas-pasan banget.

Setiap kali warung makan yang kita buka sepi (bener-bener nggak ada yang beli dari pagi sampe menjelang tutup), gue selalu stel lagu ini dan mulai nyanyi sambil joget-joget, kadang berdua sama adek gue yang saat itu masih umur 3 atau 4 tahun.

Cuma dengan begitu gue bisa ngeliat ibu dan bapak ketawa lagi.

Dan masa-masa itu nggak akan pernah gue lupa, masa dimana justru kita lebih semakin kompak satu sama lain. Masa dimana kita saling mengerti satu sama lain. Masa dimana kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ya, gue rasa Allah memang punya rencana yang indah dibalik setiap musibah yang menimpa setiap hambanya. Masa itu gue anggap sebagai masa keluarga gue memulai kembali hidup yang baru di mulai dari nol. Masa dimana kami sama-sama merangkak, saling menarik untuk mencapai puncak.

Ya, lagu itu selalu mengingatkan gue bahwa setiap perjuangan, pengorbanan, doa juga dibutuhkan SEMANGAT yang tinggi sebagai pendorongnya.





Jumat, 17 Mei 2013

Ibu, aku sayang Ibu...

Kemarin gue nangis di kantor. Iya, nangis di kantor! Konyol memang kedengerannya, tapi kalau tau apa yang melatarbelakangi tangisan gue, gue rasa nggak akan bisa disebut konyol. 

Jadi, sore kemarin gue iseng-iseng ngebuka sebuah blog dari salah satu teman gue, awalnya ngebaca postingan-postingan dia yang mengutarakan isi hatinya tentang kekesalannya terhadap saudara-saudara dan ibunya. Tadinya gue ngebaca postingan dia dengan hati yang ikut 'mengiyakan' apa yang dia rasakan terhadap keluarganya. Namun kemudian mata gue tergerak untuk membuka postingan yang berjudul "Ibu Pergi."

Awalnya gue membaca hanya dengan rasa penasaran dengan cerita hati teman gue itu. Paragraf demi paragraf gue baca dan gue mulai memahami isi cerita dari teman gue itu. Dan ya, mata gue mulai berkaca-kaca. Ini bukan cerita mengenai rasa kesalnya yang sebelumnya di ceritakan di postingan pertama yang gue baca. Bukan, ini tentang cerita kepergian ibunya. Kepergian, perpisahan dimana nggak ada pertemuan kembali dengan perempuan yang telah melahirkannya. Saat menulis ini pun mata gue kembali berkaca *semoga nggak sampe nangis lagi seperti kemarin.

Tentang kepergian ibunya yang kembali pada panggilan Tuhan, dan menetap selamanya di sisi-Nya. Saat itulah gue menangis. Nggak perduli dengan OB yang meledek gue karena tiba-tiba saja menangis, well, dia nggak tau apa yang membuat gue menangis, gue menangis bukan hanya karena ikut berduka dengan kepulangan ibu teman gue, tapi pikiran dan hati gue pun langsung tertuju pada Ibu. Ibu gue. 

Banyak kesamaan antara almarhum ibu teman gue dengan ibu gue, itu yang membuat gue menangis, apa jadinya gue jika gue berada pada posisi teman gue? Apa gue akan sekuat dia? Apa gue akan bisa menerima kesepian rumah tanpa omelan-omelan ibu? Apa gue bisa bertahan tanpa ibu yang selalu mengingatkan gue untuk shalat? Apa gue masih sanggup bergadang demi menyelesaikan tulisan gue tanpa ibu yang mengomeli gue karena besok paginya gue harus kerja? Apa gue masih bisa pulang kerumah tanpa ibu yang bertanya 'udah makan, De?' setiap kali gue lembur? Apa gue masih bisa menjalani lembur-lembur gue tanpa telepon dari ibu yang bertanya 'dapet makan ga, De?' atau 'pulangnya jam berapa?' atau 'nanti pulangnya sama siapa?' atau 'mau dijemput sama bapak?'. Apa gue bisa bangun tepat waktu tanpa suara ibu yang membangunkan gue untuk shalat subuh? Apa gue bisa bertahan berlama-lama di dalam rumah tanpa cerita-cerita lucu dari ibu? Apa gue bisa tahan nonton film tanpa ibu yang selalu tanya-tanya jalan cerita film padahal sama-sama baru nonton? *ah...gue beneran nangis lagi kan...

Gue pun berlanjut membaca postingan yang lainya, masih cerita duka mengenai kepergian almarhum ibunya. Dan air mata gue makin semena-mena mengalir gitu aja. Mengingat begitu banyak kesalahan dan pengkhianatan yang udah gue lakukan terhadap ibu. Mengingat gue pernah membuatnya menangis karena gue yang telalu mengutamakan keegoisan gue. Mengingat gue pernah dan sering membuatnya kecewa dan marah. Mengingat gue belom bisa memberikan apapun untuk kebahagiaannya.

Dan saat itu hal yang ingin gue lakukan adalah meninggalkan kantor, membatalkan lembur gue dan segera pulang. Melihat ibu, bertemu ibu dan bilang kalo gue sayang banget sama ibu.:')
gambar dari sini